Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, telah menggugat Pasal perintangan penyidikan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan ini menjadi sorotan karena menyangkut interpretasi tentang batasan intervensi dalam proses hukum, terutama di kasus-kasus korupsi yang semakin kompleks.
Dalam sidang yang berlangsung di Mahkamah Konstitusi, Hasto menghadirkan Profesor Eva Achjani Zulfa sebagai ahli hukum. Profesor Eva menekankan bahwa Pasal 21 dari UU Tipikor perlu direvisi agar tidak menimbulkan multitafsir dalam penegakan hukum.
Kepatuhan terhadap asas keadilan dalam proses hukum menjadi kunci dalam memecahkan masalah interpretasi ini. Eva mengusulkan agar pemangku kebijakan melakukan diskusi menyeluruh untuk merumuskan kembali ketentuan yang cacat tersebut.
Analisis Terhadap Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi
Pasal 21 UU Tipikor menyatakan bahwa orang yang menghalangi proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan akan dikenakan hukuman penjara antara tiga hingga dua belas tahun dan denda signifikan. Namun, penegakan hukum saat ini sering kali terjebak dalam kompleksitas tafsiran, yang dapat merugikan individu yang berupaya membela hak-haknya secara sah.
Menurut Profesor Eva, tindakan membela diri dalam suatu proses hukum tidak seharusnya dianggap sebagai penghalang penyidikan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa tindakan hukum yang diambil tidak melanggar ketentuan yang ada.
Dia menegaskan bahwa upaya untuk merumuskan perundang-undangan dengan lebih jelas merupakan langkah yang sangat penting. Hal ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat dalam proses peradilan.
Pandangan Ahli Tentang Gugatan Hasto Kristiyanto
Dalam rangka mendukung gugatannya, Hasto juga menggandeng seorang ahli hukum pidana, Chairul Huda. Ia menyoroti bahwa Pasal 21 seharusnya tidak ada dalam UU Tipikor, karena pengaturan terkait perintangan penyidikan sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Huda berpendapat bahwa penghapusan pasal ini tidak akan mengurangi efektivitas penegakan hukum.
Menurut Huda, KUHP sudah menetapkan sanksi bagi mereka yang menghalangi penyidikan, tetapi tidak spesifik untuk kasus korupsi. Dengan demikian, penegakan hukum terkait korupsi akan tetap efektif tanpa adanya ketentuan yang berpotensi menimbulkan multitafsir.
Dia menekankan bahwa fokus penegakan hukum harus tetap pada substansi pelanggaran yang terlibat, bukan pada proses formal yang bisa mengganggu upaya pemberantasan korupsi.
Potensi Perubahan dalam Perundang-undangan
Usulan untuk merombak kembali Pasal 21 UU Tipikor bukan hanya menjadi masalah hukum, tetapi juga menjadi isu politik yang lebih besar. Hal ini berpotensi mendorong perubahan kebijakan di tingkat legislatif. Jika MK mengabulkan gugatan ini, implikasinya bisa sangat luas bagi sistem hukum di Indonesia.
Reformasi dalam perundang-undangan perlu dilakukan agar dapat menciptakan keadilan bagi semua pihak. Hal ini akan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan lembaga penegak hukum.
Penegakan hukum yang efektif dan adil adalah kunci untuk menanggulangi korupsi secara lebih komprehensif. Perubahan yang direncanakan diharap dapat mengurangi risiko multitafsir yang selama ini melekat pada pasal-pasal tertentu.