Antibiotik dan Risiko Resisten: Pahami Aturan Konsumsi yang Baik

Antibiotik dan Risiko Resisten: Pahami Aturan Konsumsi yang Baik

Antibiotik dan Risiko Resisten – Penggunaan obat antibiotika harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari risiko bakteri menjadi resisten atau kebal terhadap obat tersebut. Kondisi resistensi antibiotika dapat membuat proses pengobatan dan perawatan pasien menjadi lebih lama dan sulit.

Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, dr. Mohammad Syahril, Sp.P, MPH, menjelaskan bahwa resistensi antibiotika terjadi ketika bakteri tidak lagi dapat dibasmi oleh antibiotika. Hal ini disebabkan oleh penggunaan antibiotika yang tidak tepat. “Ini karena banyak bakteri yang resisten terhadap obat antibiotika yang ada. Salah satu penyebabnya adalah pemakaian obat antibiotika yang tidak sesuai anjuran. Pemakaian yang asal-asalan bisa berakibat fatal,” jelas Syahril dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (27/9).

Oleh karena itu, sangat penting untuk mengikuti saran medis yang benar dalam penggunaan antibiotika agar efektivitas obat tetap terjaga dan mencegah terjadinya resistensi yang berbahaya.

Perhatikan Dosis dan Durasi Penggunaan Antibiotika untuk Mencegah Resistensi

Selain asal-asalan dalam penggunaan antibiotika, ada dua faktor penting lainnya yang harus diperhatikan, yaitu dosis dan durasi pemakaian. Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI, dr. Mohammad Syahril, Sp.P, MPH, menjelaskan bahwa pemakaian antibiotika yang tidak sesuai dengan dosis dan durasi yang dianjurkan dapat menyebabkan bakteri menjadi resisten.

“Kedua, soal dosis dan ketiga terkait lamanya pemakaian obat. Contohnya, ada orang yang minum obat antibiotikanya hanya sehari sekali. Padahal, dosis yang seharusnya diminum itu tiga kali sehari. Maka, bakterinya jadi resisten, kebal,” kata Syahril.

Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk mematuhi aturan penggunaan antibiotika yang telah ditentukan oleh dokter. Ketika dokter meresepkan antibiotika, dosis dan durasi pemakaiannya harus diikuti secara ketat untuk memastikan pengobatan berjalan efektif. “Pemakaian obat antibiotika ini harus sesuai resep dokter. Jika dokter memberikan obat untuk tiga hari, maka antibiotika harus diminum selama tiga hari penuh sesuai dosis yang telah ditetapkan,” tegas Syahril.

Pengobatan TB dan Tantangan Resistensi Antibiotika

Bakteri yang kebal terhadap antibiotika berpotensi menyebar lebih luas dan menjadi lebih ganas. Menurut dr. Mohammad Syahril, Sp.P, MPH, resistensi antibiotika menyebabkan obat-obatan menjadi tidak efektif, sehingga infeksi menjadi lebih sulit diobati. Hal ini dapat memperparah kondisi penyakit, meningkatkan risiko penyebaran, menimbulkan kecacatan, bahkan mengakibatkan kematian.

“Jika terjadi resistensi, bakteri yang masih hidup di dalam tubuh dapat menyebar kembali dan mungkin menjadi lebih ganas. Contohnya adalah tuberkulosis yang resisten terhadap berbagai obat, atau yang dikenal sebagai Multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB),” jelas Syahril.

MDR-TB terjadi ketika bakteri tuberkulosis menjadi kebal terhadap obat-obatan TB standar. Pengobatan tuberkulosis biasanya harus dijalani selama enam bulan, di mana pada dua bulan pertama diberikan empat jenis obat, yaitu rifampisin, INH, etambutol, dan pirazinamid. Setelah itu, pengobatan dilanjutkan selama empat bulan dengan dua jenis obat lainnya.

Syahril menegaskan bahwa jika obat tidak diminum sesuai aturan, misalnya hanya sebulan atau dua minggu, bakteri TB akan menjadi resisten dan pengobatannya menjadi jauh lebih sulit.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa MDR-TB masih dapat diobati menggunakan obat-obatan lini kedua. Namun, pengobatan ini jauh lebih kompleks dan mahal. Dalam beberapa kasus, resistensi terhadap obat lini kedua dapat berkembang, membuat pilihan pengobatan sangat terbatas. MDR-TB pun masih menjadi tantangan besar bagi kesehatan global.

Penggunaan Obat Perlu Berhati-Hati untuk Kesehatan yang Lebih Baik

Dalam mengonsumsi obat, masyarakat diingatkan untuk selalu berhati-hati, terutama saat menghadapi penyakit yang disebabkan oleh virus, seperti batuk dan pilek. Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI, dr. Mohammad Syahril, Sp.P, MPH, menekankan pentingnya menghindari penggunaan obat yang tidak diresepkan atau direkomendasikan oleh dokter.

“Hindari menggunakan obat penurun panas, obat batuk pilek, dan sejenisnya tanpa saran dokter. Jika gejala demam hanya ringan, dapat diupayakan dengan cara tradisional seperti kompres atau memperbanyak minum air putih dan makan yang cukup,” pesan Syahril.

Dia juga mengingatkan bahwa jika gejala berlanjut, penting untuk segera berkonsultasi dengan dokter untuk mendapatkan rekomendasi yang tepat. “Penggunaan obat harus hati-hati, bukan hanya antibiotika, tetapi semua jenis obat. Banyak yang ingin serba mudah; sakit kepala langsung minum obat, batuk pilek langsung mencari obat,” tambahnya.

Pemahaman yang baik mengenai penggunaan obat, terutama antibiotika, menjadi kunci dalam mengatasi resistensi obat pada bakteri. Ini juga merupakan langkah penting untuk mencegah dampak buruk yang ditimbulkan oleh bakteri yang kebal obat.

 

 

Baca juga artikel kesehatan lainnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *